Sang waktu terus berjalan. Tak terasa kita masuki tahun baru 1434
Hijriah. Itu artinya hijrah Rasulullah SAW. beserta para sahabatnya ke
Madinah telah berumur 1434 tahun. Sebuah peristiwa bersejarah yg patut
dikenang. Di dalamnya terkandung makna dan keteladanan untuk sebuah
pengorbanan sejati yg mengapresiasikan perlawanan akan kebatilan
sekaligus sikap konsisten mengedepankan kepentingan misi dari
kepentingan apa pun.
Dalam Ath-Thabaqat
Al-Laits bin Sa’ad mengutip sebuah riwayat dari Ibunda Aisyah r.a. adalah Rasulullah SAW. bersuka-cita saat jumlah pengikutnya mencapai tujuh
puluh orang karena itu artinya Allah telah membuatkan “tameng pertahanan”.
Bukan sembarangan mereka terdiri dari kaum profesional di bidang
peperangan persenjataan dan pembelaan. Toh permusuhan dan penyiksaan
kaum musyrik bertambah gencar dan berat. Bahkan tingkat siksaan dan
celaan yg dirasakan sahabat belum pernah dialami sebelumnya. Mereka pun
mengadu kepada Rasulullah saw. dan meminta izin untuk berhijrah. Pengaduan
dan permintaan itu dijawab oleh Rasulullah saw. “Sesungguhnya aku
pun telah diberi tahu bahwa tempat kalian adalah Yatsrib. Barangsiapa yg
ingin keluar-hijrah- maka hendaklah ia keluar ke Yatsrib.” Para
sahabat kemudian hijrah secara bergelombang dan tentu saja dengan
sembunyi-sembunyi kecuali Umar bin al-Khattab r.a. Dengan tegas Umar
bahkan bersuara lantang “Barangsiapa ingin ibunya kehilangan anaknya
atau istrinya menjadi janda atau anaknya menjadi yatim piatu hendaklah
ia menghadangku di balik lembah ini.” Sebuah tantangan yg antiklimaks
karena tak satu pun orang kafir Quraisy yg berani menampakkan batang
hidungnya. Tibalah Rasulullah di Yatsrib setelah sebelumnya para
sahabatnya lebih dulu sampai. Beliau disambut dengan penuh suka cita oleh
sahabat Anshar. Yatsrib di kemudian hari diganti namanya menjadi
Al-Madinah al-Munawwarah. Hijrah itu sekaligus menjadi tonggak awal
dimulainya kalender Islam.
Makna Hijrah Secara harfiah hijrah artinya
berpindah. Secara istilah ia mengandung dua makna hijrah makani dan hijrah maknawi . Hijrah makani
artinya hijrah secara fisik berpindah dari suatu tempat yg kurang baik
menuju yg lebih baik dari negeri kafir menuju negeri Islam. Adapun hijrah
maknawi artinya berpindah dari nilai yg kurang baik menuju nilai yg lebih
baik dari kebatilan menuju kebenaran dari kekufuran menuju keislaman.
Ringkasnya hijrah kepada tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Makna terakhir
oleh Ibnu Qayyim bahkan dinyatakan sebagai al-hijrah al-haqiqiyyah
. Alasannya hijrah fisik adalah refleksi dari hijrah maknawi itu sendiri.
Dua makna hijrah tersebut sekaligus terangkum dalam hijrah Rasulullah
SAW. dan para sahabatnya ke Madinah. Secara makani jelas mereka
berjalan dari Mekah ke Madinah menempuh padang pasir sejauh kurang lebih
450 km. Secara maknawi juga jelas mereka hijrah demi terjaganya misi
Islam. Al-Qahthani menyatakan bahwa hijrah sebagai urusan yg besar.
Hijrah berhubungan erat dgn al-wala’ wal-bara’ . Bal hiya min ahammi takaalifahaa
bahkan ia termasuk manifestasi yg paling penting. Penting karena menyangkut ketepatan sikap seorang muslim dalam memberikan perwalian
kesetiaan dan pembelaan. Juga menyangkut ketepatan seorang muslim dalam
menampakkan penolakan dan permusuhan kepada yg patut dimusuhi. Dalam
sejarah para rasul juga dekat dengan tradisi hijrah dan semua atas semangat
penegasan batas sebuah loyalitas kesetiaan keimanan yg berujung pada
menuju yg lbh baik atas rida Allah. Sebut misalnya Nabi Ibrahim
Khalilullah beliau telah melakukan hijrah beberapa kali dari Babilon ke
Palestina dari Palestina ke Mesir dari Mesir ke Palestina lagi semua
demi risalah suci. Termasuk hijrah beliau dari Palestina menuju Mekah yg
dalam perkembangannya menjadi syariat haji. Adalah Ibrahim a.s. yg baru
dikarunia Ismail anak yg selama ini dinanti harus meninggalkan
Palestina bersama istrinya Hajar menuju tanah gersang tak bertuan. Di
tempat itulah Ibrahim meninggalkan anak dan istrinya dengan hanya dibekali
sekantong makanan dan seteko air.
Ibnu Katsir menceritakan dalam
tafsirnya Saat Nabi Ibrahim hendak berlalu sang istri menarik tali
kekang tunggangannya dan bertanya “Apakah Kanda akan meninggalkanku
bersama anakmu di tempat yg tiada tanaman lagi tak bertuan?” Ibrahim
a.s. terdiam. Hajar mengulangi pertanyaannya hingga tiga kali dan tetap
saja Ibrahim diam. Sampai akhirnya Hajar mengganti pertanyaan “Apakah
Allah yg memerintahkanmu melakukan hal ini.” “Benar” jawab Ibrahim.
Hajar menimpali “Jika demikian Allah tidak akan mempersulit kami.”
Sungguh sebuah dialog yg menusuk hati merefleksikan keimanan yg amat
dalam sebuah ketundukan sekaligus pengorbanan yg menakjubkan. Terpancar
sikap tawakal yg begitu tinggi bahwa hanya Allah Yang Maha Menghidupkan
Maha Memberi Rezeki Maha Mematikan. Sempurnalah implementasi hijrah pada
diri Ibrahim a.s. dan keluarganya baik secara makani maupun
maknawi. Ibrah dari Hijrah Pelajaran yg nyata dari peristiwa hijrah adalah sebuah pengorbanan. Setelah para sahabat keluar dari ujian berupa
siksaan dan cercaan dari Kafir Quraisy di Mekah tidak otomatis
menjadikan mereka bebas dari ujian berikutnya. Yang paling gamblang adalah cobaan meninggalkan kemapanan. Tengoklah bagaimana sahabat meninggalkan
keluarga tercinta rumah pekerjaan tanah air dan sanak kadang.
Secara
lahiriyah umumnya naluri manusia akan menyatakan ujian itu sungguh
berat. Meninggalkan nilai material yg barangkali selama ini mereka
rintis dan perjuangkan. Berpindah ke suatu tempat asing yg penuh
spekulasi. Toh kecintaan para sahabat akan Islam mengalahkan kecintaan
pada semua itu. Kesucian akidah di atas segalanya. Hal ini sekaligus
menegaskan betapa maslahat din menempati pertimbangan tertinggi dari
maslahat-maslahat yg lain. Pelajaran lain hijrah menegaskan adanya
perseteruan abadi antara kebatilan versus kebenaran. Ibarat minyak dan
air ia tidak akan bisa bertemu karenanya adalah sebuah utopia upaya-upaya
“mengawinkan” antara nilai Islam dgn civic culture yg
bertentangan dgn Islam terlebih jika dilandasi nafsu mendahulukan budaya
ketimbang nilai Islam atas nama pluralisme dan humanisme. Pelajaran
berikutnya adalah perseteruan kebenaran versus kebatilan mengharuskan
manusia memilih salah satu di antara keduanya tidak ada sikap
“non-blok”. Allah SWT berfirman yg artinya “Kebenaran itu datang dari
Rabb-mu maka jangan sekali-kali engkau termasuk orang yg ragu-ragu.” .
Untuk menangkap spirit hijrah lebih jauh rumusan sederhana Ibnu Qayyim
cukup menarik katanya dalam kata hijrah terkandung arti berpindah “dari”
dan berpindah “menuju”. Maksudnya berpindah dari yg semula tidak sesuai
dgn tuntunan Allah dan Rasul-Nya menuju kepada yg sesuai dengan tuntunan
Allah dan Rasul-Nya. Jika rumusan global tersebut betul-betul dihayati
tiap muslim untuk selanjutnya secara konsisten diterapkan dalam
sendi-sendi kehidupan barangkali nasib umat Islam secara umum akan lebih
baik dari sekarang.
Seorang koruptor akan berhenti dari korupsinya para
preman akan menghentikan aksi premanismenya tidak ada lagi orang miskin yang bersuka cita karena kucuran infak para dermawan.
Para dai berhenti bersengketa antar mereka dalam urusan yg kurang
prinsip dan seterusnya. Lantas mengapa kenyataannya tidak demikian?
Barangkali krn kita kurang menghayati dan mengamalkan arti hijrah
sebagaimana mestinya. Wallahu a’lam. . Referensi 1. Tafsir Al-Qur’an al-Azhim Ibnu Katsir2. Al-Wala’ wal-Bara’ fil-Islam Muhammad Sa’id al-Qahthani3. Fiqhus-Sirah Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
sumber file al_islam.chm
0 komentar:
Posting Komentar